Selasa, 29 Mei 2012
Renungan Pagi (30 Mei 2012)
DARAH DI TIANG PINTU
“Kemudian kamu harus mengambil seikat hisop
dan mencelupkannya dalam darah yang ada dalam sebuah pasu, dan darah itu
kamu harus sapukan pada ambang atas dan pada kedua tiang pintu”
(Keluaran 12:22).
Arahan yang Musa berikan
tentang perayaan Paskah itu penuh bermakna, dan memiliki aplikasi kepada
orang tua dan anak-anak di dunia pada zaman sekarang.......
Sang ayah harus menyerahkan
semua penghuni rumahnya kepada Allah dan melakukan pekerjaan yang
dilambangkan oleh perayaan Paskah itu. Memberikan tugas ini ke tangan
orang lain akan membahayakan. Bahaya ini diilustrasikan dengan baik oleh
insiden yang berkaitan mengenai keluarga Ibrani pada malam Paskah itu.
Alkisah sang putri tertua
sakit, tetapi karena ia mengetahui fakta bahwa seekor domba harus
dipilih dari setiap keluarga, dan bahwa darahnya harus dipercikkan di
ambang dan kedua tiang pintu agar Tuhan dapat melihat tanda darah dan
tidak menyuruh malaikat maut masuk untuk membunuh anak pertama di
dalamnya. Dengan khawatir ia melihat malam semakin dekat ketika malaikat
maut akan lewat. Ia menjadi sangat gelisah. Ia memanggil ayahnya ke
sisinya, dan bertanya, “Sudahkah kau tandai tiang pintu dengan darah?”
Ia menjawab, “Ya, aku telah memberi petunjuk mengenai hal itu. Jangan
takut, karena malaikata mau tidak akan masuk ke sini.”
Malam tiba, dan sekali lagi
si anak memanggil ayahnya, masih bertanya, “Apakah kau yakin tiang
pintunya sudah ditandai dengan darah?” Sekali lagi si ayah meyakinkan
dia agar tidak takut, bahwa perintah yang mengandung akibat sedemikian
besar tidak akan dilalaikan oleh para hambanya yang setia. Ketika tengah
malam tiba, suaranya yang memohon terdengar berkata, “Ayah, aku tidak
yakin. Gendonglah aku, dan biarlah aku melihat sendiri tanda itu, agar
aku bisa beristirahat.”
Sang ayah menyerah pada
keinginan si anak; ia menggendong anaknya dan membawa ke pintu; tetapi
tidak ada tanda darah di ambang dan kedua tiangnya. Ia gemetar ketakutan
saat menyadari bahwa rumahnya akan menjadi rumah duka. Dengan tangannya
sendiri ia mengambil seikat hisop dan memercikkan darah di tiang
pintunya. Kemudian ia menunjukkan kepada anak yang sakit tadi bahwa
tandanya sudah ada di situ.—Review and Herald, 21 Mei 1895.
0 komentar: